Oleh : Adi Saktiwanl, Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung
TAMPANGNEWS.COM – Proses revisi UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) masih bergulir di Komisi III DPR RI. Draf Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHAP 2025 tetap mempertahankan mekanisme praperadilan. Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung, Adi Saktiwan, mencatat ada 4 kelemahan praperadilan yang harus dibenahi RUU KUHAP.
Pertama, hakim praperadilan bersifat pasif. Harusnya dalam memeriksa perkara pidana hakim harus mengejar kebenaran materiil. RUU KUHAP penting mengatur norma bagi hakim untuk mendalami perkara praperadilan yang ditanganinya dengan tujuan melindungi hak-hak sipil dan HAM.
Kedua, pemeriksaan praperadilan hanya formalitas, memeriksa kelengkapan administrasi. RUU KUHAP layak mengubah fokus praperadilan untuk memeriksa substansi perkara.
Ketiga, pemeriksaan praperadilan tidak mendalami keabsahan alat bukti, padahal prinsip yang dipegang saat ini adalah exclusionary rules of evidence. Setiap alat bukti yang diperoleh secara tidak sah tidak bisa digunakan sebagai alat bukti. Dia memberi contoh penyadapan Patrialis Akbar dilakukan sebelum penyelidikan tapi dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah.
Keempat, pemohon dibebani pembuktian, padahal yang memegang bukti adalah termohon atau penyidik. RUU KUHAP harus membalik beban pembuktian dari pemohon kepada termohon.
“Jadi rakyat yang mengajukan praperadilan cuma mendalilkan saja, penyidik harus membuktikan kalau dia punya dasar dan alat bukti melakukan upaya paksa,” Kata Adi Saktiwan dalam penyampaian hasil kajiannya.
Adi mengusulkan RUU KUHAP melarang penyidik dan penuntut umum menunda sidang praperadilan. Praktiknya selama ini penyidik dan penuntut umum kerap tidak hadir dalam persidangan praperadilan dengan tujuan perkara pokok berlanjut sampai pelimpahan ke pengadilan. Sehingga perkara praperadilan menjadi gugur. Bisa juga ditambah ancaman pidana karena hal itu sebagai bentuk obstruction of justice.
Dalam hal perkara praperadilan gugur karena perkara sudah dilimpahkan ke pengadilan, hakim praperadilan harus membuat nota untuk disampaikan kepada hakim pemeriksa perkara. Terutama jika ada dugaan pelanggaran prosedur, diskriminasi, tindakan sewenang-wenang dan lainnya.
“Harus ada pasal yang memastikan seluruh materi praperadilan yang dinyatakan gugur harus diperiksa hakim yang memeriksa pokok perkara,” ujarnya.
Yurisdiksi praperadilan tidak diatur jelas, RUU KUHAP hanya menyebut pengadilan negeri (PN). Praktiknya selama ini yang tempat yang digunakan adalah kedudukan termohon. Akibatnya, PN Jakarta Selatan sering memeriksa perkara praperadilan karena pihak termohon mayoritas di Jakarta Selatan seperti KPK, Mabes Polri, dan Kejaksaan. Dalam perkara perdata yurisdiksinya bisa berada di tempat objek perkara.
“Harusnya PN tempat terjadinya tindak pidana,” usulnya.
RUU KUHAP memperluas upaya paksa mencakup penyadapan, pemeriksaan surat, dan lainnya. Tapi ada banyak kewenangan yang masuk upaya paksa tapi prosesnya masih dalam tahap penyelidikan seperti pembuntutan, penyamaran, pembelian terselubung yang tidak bisa dikontrol hakim pra peradilan.
“Jadi masih penyelidikan tidak bisa diajukan praperadilan. Ini harus bisa dikontrol,” urainya.
Penyidikan juga perlu diuji keabsahannya melalui praperadilan. Apakah penyidikan itu merupakan kewenangan penyidik yang bersangkutan. Misalnya, apakah kewenangannya sudah benar, apakah penyidik melanggar kewajiban seperti yang diatur Miranda Rules dan lain sebagainya.
“Jadi bukan sekedar tindakan penyidikan yang diuji tapi penyidikan itu sendiri,” imbuhnya.
Kewenangan praperadilan perlu diperluas mencakup tindakan lain yang belum masuk kategori upaya paksa seperti pengambilan sampel tubuh seperti urin, darah, rambut, kuku, feses dan lainnya. Sering terjadi di mana aparat mengambil sample tubuh secara langsung tanpa landasan sah atau tidaknya tindakan tersebut. Kemudian penangguhan penahanan tidak ada parameter yang jelas. Sehingga aparat bisa menangkap dan melakukan penangguhan. (Rill)