TAMPANGNEWS.COM – Bagi umat Islam, ibadah haji adalah puncak perjalanan spiritual seorang Muslim.
Tak heran jika ibadah ini menempati posisi yang sangat istimewa di hati masyarakat, khususnya di Indonesia.
Dalam beberapa komunitas etnis, musim haji bahkan menjadi momen budaya yang besar, penuh dengan ragam keyakinan, sikap, dan ekspresi. Salah satu contohnya adalah masyarakat Sumatera Selatan.
Gelar “haji” bukan sekadar penanda ibadah, melainkan juga simbol status sosial yang terhormat dikalangan masyarakatanya.
Di mata orang Sumatera Selatan, gelar “Haji” membawa bobot simbolik yang luar biasa. Orang yang sudah menunaikan ibadah haji dihormati sebagai sosok saleh, bijaksana, dan dipercaya. Tak jarang, gelar ini menjadi modal sosial yang kuat, baik dalam kepemimpinan lokal maupun dalam ranah politik.
Tradisi ini tentu tidak hanya berlaku di Sumatera Selatan. Masyarakat Madura, Betawi, Bugis, Minangkabau, dan etnis lainnya juga memandang gelar ini dengan penuh penghormatan.
Di balik penghormatan terhadap jemaah haji tersebut, ada satu kebiasaan menarik yang mengakar kuat di berbagai daerah, yaitu tradisi “titip doa”.
Masyarakat kerap meminta jemaah haji untuk mendoakan harapan-harapan mereka selama di tanah suci.
Padahal, secara teologis, setiap orang bisa langsung berdoa kepada Allah. Lalu, mengapa harus titip? Karena selama ibadah haji, ada momen dan tempat yang diyakini mustajab untuk berdoa, seperti di Multazam, Raudhah, Arafah, dan lokasi sakral lainnya.
Dari berbagai interaksi dengan jemaah, termasuk pengalaman pribadi, bentuk-bentuk doa titipan ini sangat beragam.
Ada yang memohon kelancaran rezeki, umur panjang, keturunan, jodoh, kesuksesan usaha, karier yang baik, dan masih banyak lagi. Intinya, mereka berharap doa-doa itu disampaikan kepada Allah dengan menyebut nama si penitip agar permohonannya dikabulkan.
Salah satu kisah menarik datang dari seorang Ketua Rombongan haji, Edwar Ambari seorang Guru asal Kota Palembang. Ia menunjukkan sebuah buku kecil yang penuh dengan daftar titipan doa dari keluarga, teman, kerabat, dan tetangga. Setiap berada di tempat yang dianggap mustajab, ia dengan tekun membacakan satu per satu doa tersebut.
Akibatnya, ia sering tertinggal dari rombongan, terutama saat berada di area Multazam dan Hijir Ismail di Masjidil Haram.
Karena sering tertinggal, teman-temannya menyarankan agar tidak semua doa dibacakan setiap saat, apalagi kalau sudah pernah disampaikan.
Allah Maha Mendengar. Salah satu kawan satu ronbongan bahkan berkelakar, “Pak Edwar, doanya singkat saja: ‘Ya Allah, kabulkanlah semua doa kami sebagaimana terlampir.’” Candaan itu tentu mengundang tawa, tapi sekaligus menyiratkan keyakinan bahwa Allah Maha Mengetahui, bahkan terhadap doa-doa yang hanya tertulis dalam lembaran kertas.
Cerita serupa juga datang dari Helda Husni, jemaah asal Palembang, yang saya temui di Hotel Tower Albow, kamar 908.
Ia mengaku menerima banyak titipan doa dari keluarga, tetangga, dan teman-teman. Semua doa itu ia bacakan, khususnya saat di Arafah, karena Arafah diyakini sebagai tempat dan waktu paling mustajab.
“Saya bacakan satu per satu, Pak. Kasihan mereka yang titip, semua punya harapan. Saya merasa harus memanfaatkan kesempatan ini sebaik-baiknya. Meskipun di Arafah sangat panas,” ujarnya sambil tersenyum.
Helda, begitu ia biasa dipanggil, juga bercerita tentang titipan-titipan unik yang ia terima.
Salah satunya adalah permintaan membeli serbuk kurma muda (ruthaf), yang diyakini dapat membantu mempercepat kehamilan.
Tradisi titip doa ini ternyata tidak hanya menjadi praktik spiritual, tetapi juga mencerminkan jalinan hubungan sosial yang kuat di antara masyarakat.
Saat seseorang menitipkan doa, itu bukan sekadar permintaan spiritual, tapi juga bentuk pengakuan atas kedekatan, kepercayaan, dan harapan yang disematkan pada sang jemaah.
Relasi ini menciptakan ikatan emosional yang mendalam, seolah-olah perjalanan haji tersebut bukan hanya milik individu, tapi mewakili harapan kolektif komunitasnya.
Tak jarang, para jemaah juga merasa terbebani secara emosional karena merasa punya tanggung jawab moral untuk menyampaikan semua doa titipan.
Ada yang bahkan membuat daftar khusus dalam buku catatan atau aplikasi ponsel agar tidak lupa. Hal ini menjadi semacam ritual tambahan yang secara tak langsung mempertebal kesalehan sosial jemaah haji. Mereka tidak hanya mendoakan diri sendiri, tetapi juga memikul amanah dari orang-orang yang menitipkan harapan.
Menariknya, tradisi turun temurun ini terus berkembang mengikuti zaman. Di era media sosial, banyak orang yang bahkan menitipkan doa melalui pesan WhatsApp, status Facebook, atau kolom komentar Instagram.
Ada pula yang membuat unggahan khusus: “Teman-teman, insyaAllah saya akan berangkat haji. Bagi yang ingin titip doa, silakan tulis di komentar.” Responsnya bisa luar biasa.
Titipan doa mengalir deras, mulai dari yang sederhana hingga yang sangat personal.
Fenomena ini menunjukkan bahwa ibadah haji tidak pernah berdiri sendiri sebagai ritual individu. Ia menyatu dengan praktik budaya, relasi sosial, dan dinamika spiritual masyarakat.
Tradisi titip doa hanyalah satu dari sekian banyak bukti bahwa ibadah haji, bagi masyarakat Indonesia, adalah peristiwa besar yang melampaui batas pribadi. Ia adalah momentum kolektif yang sarat makna, harapan, dan pengharapan bersama. Wallahualam bissawab..(**)